Skip to content

Lika-Liku Ujian Doktor di Jepang

27 Juli 2017, hari dituliskannya catatan ini, adik kelas satu lab (orang Jepang) telah menyelesaikan ujian akhir program doktor (S-3) yang dilaluinya selama 3 tahun. Teman yang satu ini cukup istimewa. Dia berhasil lulus dengan memiliki 6 publikasi makalah di jurnal internasional yang bereputasi tinggi, di antaranya Physical Review, Nano Letters, dan ACS Nano. Prospek kariernya pun bagus, ia telah diterima dan akan segera bekerja di sebuah perusahaan multinasional ternama di awal 2018.

Namun, ada riak-riak kecil yang sempat menghambatnya di akhir perjalanan program S-3 yang dijalaninya. Beberapa hari ia menghilang sejenak dari lab ketika seharusnya ia hadir bimbingan untuk menyiapkan presentasi finalnya sebagai mahasiswa S-3. Ada banyak kemungkinan sebab atau faktor yang bisa menjadi pemicunya, yang sulit dijelaskan. Saya tidak tahu apa jadinya kalau kemarin ia tidak saya datangi langsung dan bujuk dari apartemennya agar datang ke kampus. Raut mukanya kemarin tampak sangat lelah dan murung. Syukurlah hari ini ia terlihat lebih cerah setelah menyelesaikan ujiannya.

Pikiran saya kemudian melayang ke hari yang sama 4 tahun lalu, 2013, ketika saya pun harus menjalani ujian tersebut. Alhamdulillah, meskipun tidak bisa memberikan presentasi yang diharapkan pembimbing, bagi saya yang penting bisa selesai saja sudah lebih dari cukup. Dari pengalaman teman-teman maupun pengalaman sendiri, memang ada berbagai “drama” yang bisa mengiringi proses pendidikan ini. Waktu yang terasa begitu lama, diomeli pembimbing, hingga stres ringan maupun berat adalah hal yang biasa terjadi.

Pendidikan S-3 di Jepang normalnya dituntaskan selama 3 tahun. Di beberapa universitas di Jepang, jika seorang mahasiswa S-3 dinyatakan telah layak untuk menempuh ujian kelulusan program S-3, biasanya ia akan dihadapkan pada dua macam ujian. Pertama adalah ujian pendahuluan (予備審査/yobishinsa) yang bersifat tertutup hanya untuk mahasiswa yang diuji dan para pengujinya. Kedua adalah ujian utama (本審査/honshinsa) yang tergantung pada jurusan atau universitas di Jepang bisa bersifat tertutup atau bisa juga bersifat terbuka untuk publik.

Supaya bisa mengikuti kedua macam ujian tersebut, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yang sebetulnya menjadi persyaratan dasar kelayakan menjadi doktor. Saya akan sedikit ceritakan di sini lika-likunya untuk jurusan yang saya ikuti. Di jurusan saya persyaratan minimalnya adalah 1 (satu) publikasi karya tulis asli (paper/makalah) yang telah diterbitkan atau diterima oleh jurnal internasional. Selain itu, kita cukup mengumpulkan tesis atau disertasi berdasarkan pada penelitian yang telah dipublikasikan. Tampak mudah? Sayangnya, itu sekadar persyaratan “tertulis”. Persyaratan tidak tertulisnya lebih rumit.

Beberapa pembimbing terkadang memanfaatkan mahasiswanya untuk mendulang banyak publikasi makalah selama mahasiswa itu menjalani program S-3. Pembimbing yang kurang baik bisa saja berkata semacam ini, “Kamu ini, kalau tidak bisa publikasi sampai 3 makalah internasional sebagai penulis pertama (first author), tidak akan pernah saya luluskan!” Jika kita mengalami hal semacam ini, sebetulnya kita bisa melaporkan pembimbing pada otoritas kampus untuk kategori “power harassment”, yakni penindasan yang dilakukan karena perbedaan strata atau posisi antara pembimbing dan mahasiswa.

Pembimbing yang baik idealnya tidak akan memaksakan jumlah publikasi tertentu pada mahasiswanya. Kalaupun mahasiswanya mampu memberikan lebih dari jumlah minimal, kelebihan itu adalah bonus dari kerja sama yang saling menguntungkan antara pembimbing dan mahasiswa. Bagaimanapun, mahasiswa yang bisa publikasi makalah lebih banyak akan memiliki keuntungan untuk mencari kerja di masa depan, sedangkan si pembimbing bisa mendapat dana riset yang lebih banyak atau dipromosikan jabatannya.

Kembali ke bahasan tipe ujian doktor, yobishinsa untuk jurusan saya minimalnya dilakukan satu kali dan maksimalnya tanpa batas. Jika kita dianggap sudah layak menyandang gelar doktor, pada dasarnya kita akan diloloskan dalam satu kali ujian saja. Jika tidak, mungkin kita perlu mengulang yobishinsa berkali-kali di semester itu, semester berikutnya, atau malah tahun berikutnya. Saya lupa tepatnya berapa tahun batas maksimal kelulusan program S-3, tetapi di Tohoku University pernah saya temui mahasiswa S-3 sejurusan (fisika) yang baru berhasil melakukan honshinsa di tahun ke-7. Entah sudah berapa kali yobishinsa yang dijalaninya.

Durasi yobishinsa disesuaikan dengan kesepakatan mahasiswa, penguji, dan pembimbing. Pengalaman saya presentasi yobishinsa adalah dalam waktu 40 menit tanpa interupsi kemudian dilanjutkan tanya jawab sampai penguji “puas” (atau sebetulnya sampai mereka malas bertanya lagi). Sesi tanya jawab itu memakan waktu sekitar 2 jam. Ada juga yang pengalaman tanya jawab yobishinsa lebih dari 3 jam, sampai diselingi makan siang, istirahat, atau memeriksa kembali data-data disertasi. Intinya, yobishinsa ini sangat fleksibel, bisa saja tidak diselesaikan dan akhirnya kita mesti melakukan yobishinsa lagi di waktu yang lain.

Sementara itu, durasi honshinsa di jurusan saya diatur lebih ketat karena pada dasarnya honshinsa hanya semacam formalitas untuk menunjukkan pada publik akan kepantasan si mahasiswa untuk segera menyandang gelar doktor. Di sini, honshinsa program S-3 diatur waktunya 40 menit untuk presentasi dan 20 menit tanya jawab. Mahasiswa S-3 yang diizinkan presentasi pada honshinsa biasanya selalu lulus. Saya belum pernah mengetahui ada mahasiswa yang tidak lulus honshinsa, kecuali ia menyengaja untuk tidak hadir pada ujian tersebut.

Kultur yang menarik dan tampaknya sangat khas dari honshinsa di Jepang, khususnya honshinsa yang bersifat publik, adalah rasa “minder” para mahasiswa ditonton oleh teman-temannya sendiri. Padahal, tujuannya honshinsa seperti itu adalah agar karya kita lebih dikenal tidak hanya oleh kolega dekat, tetapi juga oleh orang-orang awam. ٍSaya sendiri sudah berusaha sekuat tenaga menyembunyikan informasi waktu dan ruangan honshinsa dari teman-teman Indonesia agar mereka tidak hadir di presentasi saya. Kalau mereka hadir, bukannya jadi semangat, rasanya makin grogi. Pikir saya waktu itu, kalau teman-teman mau menyelamati, lebih baik saat wisuda saja.

Teman Jepang yang saya ceritakan di awal tulisan ini pun demikian. Apalagi ia dalam kondisi yang kurang sehat, ia sampai meminta saya yang notabene seruangan dengannya dan salah satu orang asing yang dekat dengannya agar tidak hadir di presentasi finalnya. Permintaan itupun akhirnya saya sampaikan ke satu lab (termasuk rekan-rekan mahasiswa Jepang) agar tidak ada yang hadir di presentasinya. Di jurusan lain, ada pula teman Indonesia yang ingin saya hadiri presentasinya, tetapi ia tidak pernah memberikan informasi waktu dan ruangan honshinsa, sampai tahu-tahu ia lulus.

Entah apakah rasa minder ditonton pada honshinsa itu terkait dengan sifat dasar yang dibangun dalam budaya Jepang atau tidak. Namun, di Amerika Serikat, yang memang dikenal kulturnya lebih terbuka, pernah ada undangan via e-mail untuk hadir di sidang terbuka program doktor seorang kolega dari MIT. Padahal, saat itu saya sudah kembali ke Jepang. Dalam e-mail tersebut, kolega yang satu ini begitu bersemangat agar didukung oleh kawan-kawannya (dekat ataupun jauh) yang nanti bisa hadir di ujian akhirnya.

Mungkin sistem pendidikan di Barat secara umum lebih menunjang tumbuhnya rasa percaya diri yang tinggi pada anak didik, berbeda dengan orang Timur yang lebih rendah hati, eh rendah diri. Percaya diri memang terkadang beda-beda tipis dengan sombong, sedangkan rendah hati beda-beda tipis dengan rendah diri, hehe.

Begitulah sekilas lika-liku ujian doktor di Jepang, terutama di jurusan tempat saya pernah belajar. Bagi teman-teman yang akan menjalani ujian, santai saja, “nothing to lose“. Kalau sudah berusaha sebisanya yang kita mampu, ya sudah, tinggal jalani dan berdoa. Kalau takut stres dan depresi, salah satu tip yang bisa dicoba adalah menikah dengan dokter jiwa atau lulusan psikologi. Mungkin beliau bisa membantu memulihkan kondisi psikis kita dalam masa-masa sulit. Bagi saya pribadi itu cukup ampuh. Selain itu, tentu saja, kepada Allah-lah sebaik-baiknya kita mengadukan segala permasalahan.

Sendai, 3 Dzulqa’dah 1438 / 27 Juli 2017

A. R. T. Nugraha

Join the conversation

Your email address will not be published. Required fields are marked *